Tuesday, 29 August 2017

Relasi antara Tuhan dan Manusia dalam perspektif Toshihiko Izutsu


Hallo gaes,, kali ini saya akan berbagi ilmu tentang macam-macam relasi antara Tuhan dan Manusia dalam perspektif Toshihiko Izutsu. Semoga dengan adanya artikel ini, kita bisa bertambah ilmu dan bertambah takwa kepada Allah SWT. aamiin.

A. Relasi Ontologis antara Tuhan dan manusia
Relasi ontologis merupakan  relasi antara Tuhan sebagai sumber eksistensi dan manusia sebagai ciptaan-Nya, atau  relasi khaliq-makhluq.  Dengan relasi ini manusia diperkenalkan tentang asal diri, hakikat diri dan pencipta dirinya. Kemakhlukan adalah identitas fundamental. Karena itu manusia harus meletakkan diri sesuai dengan identitas tersebut. Identitas sebagai makhluk adalah kodrat diri sehingga pengakuan atas kodrat itu adalah keharusan. Pengakuan tersebut harus berdasar pada kesadaran tulus yang sejatinya memberikan efek positif riil pada sikap dan perilaku. Sikap yang bisa timbul dari kesadaran yang tulus tentang kemakhlukannya antara lain:
1. Menyadari sebagai milik Tuhan.
2. Tunduk pada kehendak-Nya sesuai dengan tujuan penciptaan.
3. Memahami kesamaan manusia dan jagad raya sebagai makhluk dan memperlakukannya dengan baik.
4. Pembebasan diri dari penuhanan terhadap selain sang Pencipta karena sama-sama makhluk.
Manusia adalah ciptaan Allah SWT yang tertinggi dan sempurna. Hal tersebut sesuao dengan firman Allah SWT dalam QS. At-Tin ayat 4:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Dalam bahasa yang lebih tegas, pengakuan tentang eksistensi Tuhan yang tunggal (tauhid) dan pencipta segalanya artinya juga pengakuan dan perwujudan kesatuan manusia tanpa pembedaan ras, bangsa, jenis kelamin, warna kulit, dan segala bentuk diskriminasi.

B. Relasi komunikatif antara Tuhan dan manusia
Hubungan komunikatif antara Tuhan dan manusia pada dasarnya bersifat timbal balik: (1) dari Tuhan kepada manusia dan (2) dari manusia kepada Tuhan.  Di dalam relasi komunikatif, ada dua macam, yaitu komunikasi linguistik (verbal) dan komunikasi non-linguistik (non-verbal).
Relasi komunikasi linguistik (verbal) berupa komunikasi dalam bentuk kata-kata. Kata Tuhan berkomunikasi dengan manusia melalui wahyu yang diturunkan kepada orang pilihan yang disebut rasul. Walaupun demikian komunikasi antara Tuhan dan rasul tidak dalam bentuk komunikasi biasa. Sekalipun rasul adalah manusia pilihan Tuhan, ia tetap manusia yang berada di level eksistensi yang berbeda (martabat al-wujud al-mukhtalifah) dengan Tuhan sehingga komunikasinya harus bersifat khusus dan rahasia.
Sebagai bentuk komunikasi linguistik Tuhan kepada manusia, seorang rasul yang menerima wahyu dari Tuhan harus menyampaikannya kepada manusia. Dengan demikian, diharapkan pesan tersebut sampai kepada umat. Seorang rasul merupakan orang yang dipilih untuk mewakili seluruh manusia dalam penerimaan dan penyampaian pesan.
Bentuk relasi komunikasi lainnya adalah komunikasi non-linguistik (non-verbal). Komunikasi ini menggunakan simbol non-linguistik yang berupa ciptaan. Jika dalam komunikasi linguistik menggunakan simbol bahasa yang dibukukan menjadi kitab suci Al-Quran, maka dalam komunikasi non-linguistik, Tuhan menggunakan simbol alam semesta. Dalam bahasa yang lain, Seyyed Hossein Nasr menyebut pesan-pesan komunikasi Tuhan baik dalam bentuk linguistik atau non-linguistik sama-sama Al-Quran, yakni Al-Quran yang dibukukan dan Al-Quran yang diciptakan, karena sama-sama mengandung pesan yang harus dipahami dan dilaksanakan oleh manusia.

C. Relasi Etik antara Tuhan dan Manusia
Relasi etik merupakan relasi yang paling menonjol dalam pemikiran keagamaan yang berasal dari Yahudi, Kristen atau Islam, dimana konsep tentang Tuhan pada hakikatnya bersifat etik. Tuhan bertindak terhadap manusia dengan cara etik yaitu sebagai Tuhan Keadilan dan Kebaikan, demikian pula manusia diharapkan merasa penting tindakan Ilahi dengan cara yang  etis.
Relasi etik adalah relasi yang melibatkan Tuhan dengan sifat Maha Pengasih-Nya dengan manusia yang harus berterima kasih atas segala kebaikan yang diterima. Segala tindakan Tuhan terhadap manusia merupakan perwujudan rahmat (sifat kasih) dan sifat kebaikan lainnya yang merupakan kelompok sifat fundamental Tuhan. Sifat fundamental adalah sifat esensial yang terdiri kelompok sifat seperti rahman (Maha Pengasih), rahim (Maha Penyayang), wadud (Maha Pencinta), fatah (Maha Pembuka), dan ghofur (Maha Pengampun) sedangkan sifat lainnya yang memperlihatkan karakter keras merupakan sifat yang tergantung respon negatif manusia. Artinya Allah akan selalu baik kepada makhluk-Nya tetapi jika makhluk tidak memberikan respon baik, sangat bisa jadi Allah bertindak tegas dan tampak tidak memperlihatkan sifat kasih sayang-Nya. Padahal semua tindakan Tuhan kepada manusia mengandung kebaikan, karena dalam ayatnya sangat jelas menegaskan bahwa Allah tidak akan zalim kepada hamba-Nya (laisa bi dzallam li al-‘abid),  ditambah dengan penegasan lain bahwa rahmat Allah meliputi segalanya (wa rahmati wasi’at kulla syay’).
Al-Quran sebagai ayat-ayat verbal (wahyu) yang dikomunikasikan Allah kepada umat manusia, menurut Izutsu  memiliki dua aspek yang berbeda, tetapi sama-sama penting yaitu firman (kalam) dan bahasa (lisan) Arab dalam terminologi Sausurian. Kalam merupakan sisi parole sedangkan lisan merupakan sisi langue  atau sarana untuk berkomunikasi. Parole adalah komunikasi linguistik yang terjadi dalam situasi konkret antara dua orang, salah seorang di antaranya memainkan peran aktif sementara yang lainnya memainkan peranan pasif. Sedangkan yang dimaksud langue adalah sistem isyarat verbal  yang telah dikenal dan disepakati sebagai alat komunikasi diantara semua orang yang menjadi anggota masyarakat tertentu. Dalam Al-Quran ada tiga kata yang seringkali digunakan Allah untuk menegaskan bahwa Al-Quran itu adalah parole Tuhan yakni kalam, kalimah, dan qaul.
Sifat hubungan antara manusia dengan Allah SWT bersifat timbal balik yaitu bahwa manusia melakukan hubungan dengan Tuhan dan Tuhan juga melakukan hubungan dengan manusia tujuan hubungan manusia dengan Tuhan adalah dalam rangka pengabdian atau ibadah seperti dalam QS. Al-An’am ayat 15:
“Katakanlah (Muhammad), ‘Aku benar-benar takut akan azab hari kiamat jika aku mendurhakai Tuhanku’.”
Secara psikologis, ini merupakan bentuk khusus dari “rasa takut”. Namun menjadi melemah karena dimakan waktu, sehingga makna taqwa mencapai tahap tidak lagi memiliki hubungan nyata dengan citra Hari Pengadilan dan kengeriannya berubah menjadi hampir sama dengan “ketaatan”. Pada tahap ini, taqwa hanya terkait sedikit atau sama sekali tidak ada kaitannya dengan konsep “takut” (khawf).
Dalam literatur non Al Quran pada masa awal Islam oleh ‘Abdah bin Al-Thabib  yang hidup sezaman Nabi, sangat menarik untuk diperhatikan. “Aku perintahkan kepadamu supaya tuqo (taqwa) kepada Tuhan, karena Dia-lah yang memberi kita dan menahan pemberanian-Nya, kepada siapa saja yang Dia sukai, semua benda yang bernilai dan diingini”.
Taqwa sama sekali tidak ada hubungannya dengan akhirat dan takut terhadap siksaan. Hal ini jelas berdasarkan fakta bahwa kebaikan dan karunia Allah disebutkan sebagai alasan mengapa manusia harus taqwa kepada Tuhan.

Wallahua'lam

No comments:

Post a Comment