Tuesday, 29 August 2017

Makna kata Tuhan dan Manusia dalam Islam


Hallo gaes, kali ini saya akan berbagi ilmu mengenai makna dasar dan makna relasional dari kata "Tuhan" dan "Manusia". Silakan disimak artikel ini. Semoga bermanfaat....

 A. Makna dasar dan makna relasional dari kata “Tuhan”
Kata Allah adalah fokus tertinggi dalam sistem Al-Quran, baik dari segi nilai penting dan kedudukannya tidak ada yang melebihinya. Nama Allah itu sendiri lazim di kalangan jahiliyah dan Islam. Mengenai makna dasar “Allah” pada masa-masa pra-Islam masing-masing suku biasanya memiliki Tuhan atau dewa lokal yang dikenal dengan nama diri.  Jadi pada awalnya masing-masing suku memiliki makna lokal sendiri ketika mereka menggunakan kata yang maknanya sebanding dengan Tuhan tersebut. Dengan demikian, bahwa kata “Allah” pada zaman Jahiliyah banyak mengandung makna dasar, dan makna yang banyak ini pasti telah dibawa ke dalam sistem Islam ketika Al-Quran mulai menggunakannya sebagai nama Tuhan dalam wahyu Islam.
Secara historis, nama tersebut masuk ke dalam sistem Islam melalui sistem yang lain, yaitu sistem konsep religius  pra-Islam, betapa sederhananya sistem tersebut. Sebelum masuk ke Islam, nama itu sudah lama menjadi bagian dari sistem  pra-Islam yang juga dianggap sangat penting.
Secara semantis, bahwa sebelum makna dasar kata “Tuhan” mendapat tambahan lain dalam sistem besar jahiliah, setelah memperoleh makna relasional khusus. Semua unsur relasional masih ada dalam pemikiran orang-orang Mekkah yang membaca Al-Quran paling tidak pada periode awal karier kenabian Muhammad, karena mereka masih  tetap menyembah berhala dan tetap hidup dalam sistem konsep-konsep tradisional jahiliah. Dengan kata lain, ketika wahyu Islam dimulai, orang-orang Arab di Mekah tidak mungkin memahami kata Allah selain mengaitkannya dengan semua unsur semantik yang ada dalam pemikiran mereka.
Al-Quran mengakui bahwa konsep umum tentang “Allah” yang dimiliki orang-orang Arab pada masa itu secara mengejutkan dekat dengan konsep Islam tentang Tuhan. Al-Quran pun bahkan mempertanyakan dalam sejumlah ayat penting, mengapa orang-orang yang memiliki pemahaman yang begitu tepat tentang Tuhan dapat begitu keras kepala menolak untuk mengakui kebenaran ajaran baru.
Berkaitan dengan masalah perkembangan makna relasional, kata “Allah” di kalangan orang-orang Arab pra-Islam bahwa hakikatnya perlu membedakan antara tiga kasus yang berbeda dan menelaah masalah tersebut dari sudut pandang yang berbeda pula.
1. Pertama adalah konsep pagan tentang Allah,  yaitu orang-orang Arab murni pra-Islam yang berbicara tentang Allah sebagaimana mereka pahami. Ternyata sastra pra-Islam bukanlah satu-satunya sumber informasi mengenai masalah ini, informasi yang sepenuhnya dari tangan pertama bisa diperoleh dari deskripsi situasi aktual yang diberikan Al-Quran.
2. Kita mengamati orang-orang Yahudi dan Kristen zaman pra-Islam yang menggunakan kata Allah untuk menyebut Tuhan mereka sendiri. Di sini tentu saja “Allah” berarti Tuhan Injil.
3. Terakhir, kita melihat orang-orang Arab pagan, Arab jahiliah murni non-kristen dan non-yahudi yang mengambil konsep Tuhan Injil “Allah”. Ini terjadi, misalnya ketika seorang penyair Baduy mendapat kesempatan menulis puisi pujian terhadap seorang raja Kristen, pelindungnya, seperti sering ia lakukan pada zaman jahiliah. Dalam kasus semacam itu, dia menggunakan kata “Allah” baik sengaja maupun tidak, dalam pengertian Kristen dan sudut pandang Kristen.
Konsep  Allah tidak hanya ada dalam pandangan religius orang-orang Arab pra-Islam, tetapi lebih dari itu konsep tersebut sudah memiliki struktur  batinnya sendiri yang siap dikembangkan yaitu:
1. Allah dalam konsepsi ini adalah pencipta dunia.
2. Dialah yang menurunkan hujan, atau lebih umum memberi hidup terhadap segala sesuatu yang hidup di bumi.
3. Dialah satu-satunya yang memimpin dengan sangat sungguh-sungguh.
4. Dialah objek dari apa yang bisa saja kita deskripsikan sebagai monoteisme kontemporer yakni ekstensi yang dibuktikan oleh ekspresi yang muncul dalam Al-Quran yang membuat sementara keyakinan mereka murni untuk Dia sendiri
5.  Akhirnya Allah adalah penguasa Ka’bah.
Sebagaimana disebutkan sepintas, konsep Allah yang umum di kalangan orang-orang Arab pra-Islam pada masa sebelum Islam secara umum dekat dengan konsep Islam. Begitu dekatnya, kadang-kadang heran mengapa pemahaman yang benar tentang Tuhan semacam itu pada akhirnya tidak menyebabkan orang-orang kafir itu mengakui kebenaran ajaran baru tersebut. Dalam QS. Al-Ankabut ayat 61 misalnya kita dapatkan:
“Jika kamu tanyakan kepada mereka (yaitu orang-orang Arab pagan) ‘Siapa yang menciptakan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?’ Mereka tentu saja akan menjawab, ‘Allah’.”

B. Makna Dasar dan Makna Relasional dari Kata “Manusia”
Dalam makna dasar bahasa Arab, kata Manusia bersepadan dengan kata-kata nas,  basyar, insan, mar’u,  ins dan lain-lain.  Meskipun bersinonim, namun kata-kata tersebut memiliki perbedaan dalam hal makna spesifiknya.Kata nas misalnya lebih merujuk kepada makna manusia sebagai makhluk social, sedangkan kata basyar lebih menunjuk kepada makna manusia sebagai makhluk biologis.
Adapun makna relasionalnya, konsep “manusia” (insan) adalah kutub yang berlawanan dengan Tuhan. Karena di antara semua objek yang diciptakan, manusia merupakan salah satu yang paling penting di dalam Al-Quran sehingga paling tidak menarik perhatian kita dengan jumlah yang sama sebagaimana Tuhan. Manusia, sifatnya, perbuatannya, psikologinya kewajibannya, tujuannya dijadikan pusat perhatian pemikiran Al-Quran sebagaimana persoalan Tuhan itu sendiri. Apa yang difirmankan dan dilakukan Tuhan menjadi persoalan utama, jika tidak secara eksklusif dalam hubungannya dengan persoalan bagaimana manusia bereaksi terhadap firman dan perbuatan Tuhan tersebut. Pemikiran Al-Quran  secara  keseluruhan  berbicara  tentang persoalan  keselamatan  manusia. Jika  bukan  karena  persoalan  ini, maka Al-Quran tidak akan diturunkan, karena  Al-Quran  itu  sendiri secara jelas dan berulang-ulang menekankan hal tersebut. Dalam  pengertian khusus ini, konsep tentang manusia sangat penting pada tingkatan tertentu sehingga membentuk kutub utama yang kedua, yang bertahap dengan kutub terpenting, yakni konsep tentang Allah.   Kemudian Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang sempurna dan diperintahkan untuk menjalankan perintah-Nya. Hal ini terkandung dalam QS. Az-Zariyat ayat 56:
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan  agar mereka beribadah kepada-Ku”

Sekian, kurang lebihnya saya mohon maaf
Wallahua'lam

No comments:

Post a Comment